Curug Macan, Sungai Cikidang
Di balik kepungan peradaban jalan lintas Bogor-Sukabumi yang bising, terdapat negeri kabut. Negeri tempat sebuah kampung bertakhta di tubir enklave kebun teh yang purwa. Kebun teh itu lalu dikepung oleh hutan hujan nan perawan. Hutan perawan yang pada pagi, siang, dan sore hari kerap berselimutkan halimun. Selimut halimun itu sendiri melindungi diri dari bisingnya jalan antarkota, dengan lapis demi lapis punggungan bukit dan jurang.
Kampung di bibir kebun teh, di tengah hutan, dan di bawah selimut halimun itu bernama Citalahab Sentral. Letaknya di jantung Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), sebuah hutan konservasi di perbatasan Jawa Barat-Banten yang luasnya nyaris dua kali Jakarta.
Kampung itu kecil, tersusun atas 18 rumah tembok bercampur kayu. Sederhana. Namun, kampung di lereng bukit yang cukup terjal dan mengapit anak Sungai Cikidang yang berair jernih dan dingin itu cukup menyenangkan.
Jalan setapak tanahnya bersih. Pekarangan rumah umumnya berhiaskan tanaman aneka bunga: kembang sepatu, mawar, bakung, dan perdu seruni. Hampir semua penghuni kampung yang jumlahnya sekitar 60 orang dewasa dan anak-anak itu bersaudara dan berkerabat.
Sejak sekitar 15 tahun silam, warga Citalahab Sentral telah terbiasa menyewakan kamar rumah mereka bagi pengunjung. Urusan makan pun disediakan tuan rumah.
Masakan rumahan memang. Namun, menu seperti ikan mas goreng yang diambil dari kolam di pekarangan, orek oncom, tahu-tempe, dan sambal terasi sungguh nikmat disantap. Apalagi nasinya asli berasal dari panenan sawah yang ada di kampung berketinggian 1.070 meter di atas permukaan laut itu.
Umumnya, para pengunjung adalah wisatawan yang ingin menikmati keindahan hutan atau peneliti yang melakukan riset terhadap keajaiban rimba Gunung Halimun.
Menjelajahi kawasan rimba taman nasional tersebut sangat menyenangkan jika memulainya dari kampung itu. Semuanya dimulai tepat dari belakang kampung.
Ada sejumlah rute setapak masuk ke dalam hutan dari Citalahab Sentral. Rute paling bersahabat bagi wisatawan adalah yang berakhir di Stasiun Riset Cikaniki, sebuah bangunan kayu milik Balai TNGHS. Panjang jalurnya 1,8 kilometer dan dapat ditempuh sekitar satu setengah jam dengan berjalan santai.
Tak perlu tenaga ekstra karena rute tersebut relatif datar dengan sedikit jalan mendaki dan menurun. Beberapa kali kecil berair bening yang memotong lintasan menjadi hiburan tersendiri.
Dalam segarnya udara rimba yang beraroma dedaunan kering dan tanah humus, para pelancong bisa menikmati rimbunnya aneka pohon berusia hingga sekitar 200 tahun. Ada pohon-pohon rasamala yang tinggi menjulang hingga 50 meter. Batangnya yang abu-abu kemerahan berdiameter sekitar 1,5 meter dengan balutan lumut dan sulur liana si pendompleng.
Tak kalah megah, pohon puspa dengan kulit batangnya yang hitam keabu-abuan dan kasar, juga menjulang menembus kanopi hutan. Seperti rasamala, pohon puspa juga mampu tumbuh hingga 50 meter. Di jalan setapak itu pula kerap dijumpai rontokan buah ki somang yang berwarna hijau mirip rambutan dan pecahan kulit buah kokosan monyet yang menyampah di tanah setelah isinya habis dilumat primata.
Jika hari cerah, dapatlah kita berharap melihat atau sekadar mendengar pekik suara owa jawa yang dalam bak terompet tenor atau cekikikan lutung dan surili. Tak ada keindahan yang bisa menandingi konser suara satwa pemanjat pohon itu saat berpadu dengan kicauan aneka burung srigunting yang panjang melengking, gerutuan tekukur hutan, decitan burung kedasih, dan kicau beranjangan.
TNGHS memang kaya akan jenis burung liar. Menurut Odi Suradi, petugas stasiun riset yang juga warga Citalahab Sentral, ada setidaknya 270 jenis burung di taman nasional itu. Oleh karena itu, hutan Gunung Halimun di kawasan Cikaniki-Citalahab merupakan tempat favorit bagi wisatawan lokal dan asing, pehobi pengamatan burung.
TNGHS juga menjadi rumah berbagai jenis mamalia, seperti muntjak, kancil, babi hutan, dengan predator puncak macan tutul dan saudara sedarahnya, macan kumbang yang hitam. ”Tetapi macan tutul itu pemalu. Selalu menghindari manusia,” ujar Ade Suryadi, warga Citalahab Sentral yang juga pemandu wisata profesional.
Tiba di tujuan akhir, stasiun riset, atraksi wisata rimba tak selesai begitu saja. Menuruni lereng sejauh 200 meter dari tepi jalan batu tak jauh dari bangunan itu, para pelancong akan menjumpai air terjun kecil, Curug Macan, yang airnya mencurah ke Sungai Cikidang.
Di sungai itulah wisatawan dapat mandi dan menikmati dinginnya aliran air pegunungan membasuh kulit. Curug Macan hanyalah satu dari sekian banyak air terjun di tengah hutan dalam rentang jarak jelajah dari Cikaniki atau Citalahab. Ada air terjun Cikudapaeh yang tingginya 7 meter atau Curug Piit yang tingginya 25 meter. Namun, jaraknya lebih jauh dan harus ditempuh tiga hingga empat jam dari Cikaniki atau Citalahab. Dari kedua titik itu pula wisatawan dapat menyusuri hutan selama tiga setengah hingga lima jam sampai ke puncak Gunung Kendeng.
Stasiun Riset Cikaniki sendiri menyimpan keajaiban malam. Saat gelap malam mengunci alam, konser hutan dimainkan oleh suara jangkrik dan tonggeret. Adakalanya kodok serasah yang lebih besar dari telapak tangan orang dewasa terlihat di antara dedaunan, melintasi jalur setapak.
Namun, suguhan paling istimewa dapat ditemui di dalam hutan tak jauh di belakang Stasiun Riset Cikaniki. Di sana, wisatawan dapat menikmati pendaran jamur lumang putih. Jamur berukuran hanya beberapa milimeter yang hidup berkerumun di batang pohon mati dan daun kering itu memancarkan cahaya hijau dalam pekatnya gelap malam.
Perkebunan teh Nirmala
Tak hanya magisnya hutan hujan tropis dataran tinggi yang dapat dinikmati di kawasan tersebut. Seusai bercanda di Sungai Cikidang dan Curug Macan, rute termudah untuk kembali ke kampung Citalahab Sentral adalah menyusuri jalan batu sejauh 2 kilometer. Kita akan tiba di lereng dan puncak punggungan bukit, di tengah-tengah perkebunan teh Nirmala.
Perkebunan seluas sekitar 900 hektar itu dibuat pada masa kolonial Belanda, jauh sebelum TNGHS dikukuhkan pada 1992. Alhasil, keberadaan perkebunan milik pemerintah dan dikelola swasta lewat hak guna usaha itu menjadi enklave dalam kawasan taman nasional.
Karena berjalan di titik yang tinggi atau paling tinggi, wisatawan akan melihat permainya gelombang kebun teh dengan memandang ke bawah, menyusuri lembah di mana tegakan-tegakan pohon teh berbatas dengan hutan. Pada siang hari, para pemetik teh akan menunggu truk-truk pengangkut petikan daun-daun teh. Sebagian pemetik merupakan warga Citalahab Sentral, sebagian lain berasal dari sejumlah kampung di kawasan dalam taman nasional itu, seperti Citalahab Bedeng dan Neglasari.
Jika kaki masih kuat melangkah, wisatawan dapat berjalan ke satu kampung lainnya di dalam kawasan taman nasional, yaitu Legokjeruk. Pengunjung dapat melihat aktivitas warga membuat gula aren dan membeli produksi mereka.
Citalahab Sentral sendiri bukan cuma base camp dan titik berangkat. Desa itu masih memiliki sejumlah kincir mikro hidro pembangkit listrik. Meski listrik dari PLN telah menyentuh kampung sejak tiga tahun lalu, kincir mikro hidro tetap digunakan pada saat darurat. Menurut Ade, kincir itu menjadi atraksi yang menarik bagi rombongan anak sekolah yang berlibur.
”Setiap musim libur sekolah, setiap rumah di kampung pasti penuh dengan tamu wisatawan. Para siswa dari satu sekolah menengah atas di Jakarta juga rutin datang dan menginap setiap tahun,” kata Ade.
Kamar-kamar yang disewakan warga itu sederhana, tetapi bersih. Sebagian berdinding papan dan berlantai kayu. Tempat tidurnya dilengkapi kasur busa dan selimut. Namun, jika tak terbiasa dengan fasilitas sederhana itu, bawalah seprai dan selimut dari rumah yang tentu membuat lebih betah. Kalau tak terbiasa dengan bau kayu papan, sebaiknya wisatawan juga menyiapkan diri dengan penyegar ruangan.sumberinfo
0 komentar:
Posting Komentar