Suatu hari, di sebuah rumah…”
Pokoknya mulai hari ini bapak dan ibu tidak boleh pergi ke dukun dan
tidak boleh lagi sedekah bumi di laut kidul…, tidak boleh lagi ikut
maulidan dan tahlilan…,!!! Celana bapak harus dipotong di atas mata
kaki…, dan ibu harus pake cadar…! demikianlah instruksi seorang pemuda
seperti kita – kita ini (yang baru ikut rohis kampus, baru ngaji dan
baru jadi anggota LDK). ” Memangnya kenapa???” tanya sang ayah dengan
nada tinggi. “Karena itu syirik, bid’ah dan maksiat…!” jawab sang anak
sekenanya. “Kamu ini anak kemarin sore, tahu apa…!!!? Sudah, ga perlu
macam – macam, kalo kamu tidak mau tinggal di sini lagi, keluar
saja…!!!” tutup sang orang tua mengakhiri perdebatan di rumah kecil itu.
Di tempat yang lain, ada
seorang juru dakwah dari rohis kampus namun “minim ilmu” kerap kali
larut dalam ritual – ritual syirik/adat istiadat, larut dalam acara yang
tidak ada tuntunan dari nabi, serta bermusik/berdangdur ria dengan
dalih mendekati masyarakat sebelum mendakwahi mereka. Ketika ada
seseorang yang menegernya, ” Akhi…itu kan acara syirik, tidak ada
tuntunan dan maksiat??? Kenapa antum ikut larut di dalamnya???” “Lho,
kita kan harus bersikap hikmah dalam berdakwah, kalo kita tidak ikut
acara – acara seperti itu lebih dahulu maka masyarakat akan lari dan
menjauhi kita. Bukankah islam itu rahmatan lil ‘alamin???” Jawab pemuda tadi sekenanya…
Wahai saudaraku, dalam menyikapi sikap hikmah dalam berdakwah… Manusia terbagi menjadi 3 kelompok:
1.
Kelompok yang tidak memperdulikan sikap hikmah dalam berdakwah,
sehingga terkesan ngawur dalam dakwahnya. Merusak, membuat kericuhan dan
sebagainya…
2.
Kelompok yang terlalu longgar dalam memahami istilah hikmah, sehingga
kerap mengorbankan syariat islam dengan dalih hikmah dakwahnya…
3.
Kelompok yang pertengahan, yang benar – benar memahami kata hikmah dan
senantiasa menerapkan kata hikmah dalam dakwahnya, sehingga dia selalu
mempertimbangkan gerak – gerik serta metode yang ditempuhnya dalam
berdakwah, dengan naungan dan timbangan ilmu. (Pendahuluan 14 Contoh
Hikmah Dalam Berdakwah , Abdullah Zaen, Lc. Pustaka Muslim, Jogjakarta)
saudaraku,
inilah yang ingin penulis haturkan. Penulis berusaha dengan sebaik
mungkin serta berdoa pada Allah ta’ala untuk digolongkan pada kelompok
yang ketiga. Sehingga penulis dapat menjelaskan risalah ini dengan
santun dan baik…serta akan bermanfaat bagi penulis, saudara – saudara
yang sedang membaca ini serta bagi kaum muslimin yang lain…
Saudara
sekalian, antum pernah dengar kata salaf? Lantas salaf itu apa sih…???
Kalo salafy…??? Kalo salafiyyah…??? Apa hubungan mereka dengan ahlus
sunnah wal jama’ah…??? Inilah yang sering kita tanyakan dan kita
perbincangkan mengingat akhir – akhir ini cukup ramai -alhamdulillah-
forum2 kajian yang tampak di sana beberapa ikhwan yang santun dengan
akhlaknya, ramah dengan senyumnya, berwibawa dengan lihyah (rambut di
dagu-pen-) serta celana yang bersih di atas mata kaki. Di sisi mereka
juga ada akhwat – muslimah yang rapi dan terhijab syar’i serta terkadang
ada hiasan cadar di wajah – wajah mereka… Siapakah mereka…???
Karena merasa tak pandai dalam menggoreskan pena, maka penulis hanya akan mengintip serta mengutip petikan ilmu yang telah dituliskan oleh para ulama’ ahlus sunnah wa al jama’ah –rahimahumullah- dalam
kutaib (kitab2/buku2) mereka. Mereka telah meluangkan waktu mereka
untuk berjuang di jalan Allah melalui pena, lisan, harta serta jiwa demi
tersebarnya kaharuman manhaj/metode agama yang haq ini. Banyak sekali
manfaat yang penulis dapatkan dari bimbingan ustadz pengajar kami
tentang goresan tinta para ulama’. Pun demikian yang dialami oleh
saudara – saudara kami seperjuangan dalam dakwah ini…
Oleh karena itu, penulis ingin berbagi manfaat dan kebahagiaan
tersebut kepada saudara – saudari kami dari kalangan kaum muslimin
untuk meresakan kelezatan iman serta ketenangan jiwa dalam berjalan di
atas manhaj as salafush shalih… Serta tak lupa untuk menyerukan
kepada seluruh manusia manapun dari agama apapun –selain islam- untuk
merasakan indahnya islam dalam naungan sunnah yang mulia yang akan
menghantarkan kita semua kepada surga nan indah…
Akhirnya
tak lupa…doa kami untuk saudara – saudari kami baik yang hidup di zaman
ini maupun yang telah mendahului kami dalam keimanan serta pengorbanan…
“Ya
Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Wallahua’alam
Apa sih Salaf itu…???
Teman
– temanku yang baik, pelajarilah apa yang telah dituliskan oleh saudara
– saudara kami dari Yayasan Pendidikan Islam al Atsary Jogjakarta
tentang salaf…
Salaf
secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu,
keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu
Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu,
yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi
umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti
para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).”
(Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30) Makna semacam ini
serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya,
“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu
Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka
sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az
Zukhruf : 55-56) Artinya adalah : Kami menjadikan mereka sebagai
pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana
perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan
mengambil nasihat darinya (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih,
hal. 20)
Dengan
demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek
moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan
barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti
terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim) Artinya sebaik-baik pendahulu.
(lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7)
Oleh sebab itu secara bahasa semua orang terdahulu adalah salaf. Baik
yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti
Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat,
dll. Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka ‘kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan.
Kemudian apabila muncul pertanyaan ‘Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?’.
Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita
mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek
penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita
bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari
sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama
lain. Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli
agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka
merekapun menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa)
adalah demikian sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian;
hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara
makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil
Ushul, hal. 38 )
Memperjelas tentang salafy…
Apabila
para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang
mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut :
Pertama, para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga,
shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya
di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan
berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21)
Syaikh
Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi
kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri
para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga
tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang
meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30) Syaikh Doktor Nashir bin
Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini,
yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga
kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in,
-red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj
mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk
penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil
‘Aqidah, hal. 5-6)
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah,
“Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang
mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka
untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun
merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan
penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati
umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan
diri demi menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka
(tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Sehingga
Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula
setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut
sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut
dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah
salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah
pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh
pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah
kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As
Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun
orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka
berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari
periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan
sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah
termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan
saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22,
Limadza. hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8 )
Siapakah sih Ahlus Sunnah Wal Jamaah itu…?
Telah dijelaskan oleh saudara – saudara kami dari Yayasan Pendidikan Islam al Atsary Jogjakarta tentang As Sunnah.
As Sunnah
secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah
ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya,
baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah
menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena
sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila
dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka
sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran
Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah !!
(silakan baca Lau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17
baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal.
36-40)
Sedangkan Al Jama’ah
secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu
perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i al jama’ah berarti orang-orang
yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta
orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka
dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin.
Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.”
(lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30)
Ukuran
seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya
adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang
murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum.
Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan
akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka
kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para
sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama
ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di
dalam Majmu’ Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah
hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan
musnad” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah,
hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani
rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari
hadits perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196)
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang
mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap
dan mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas
jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida’
(mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan
pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu
maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah
kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah salaf (lihat Al
Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal.
40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda
Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin
Husain Al Jizani hafizhahullah)
Kemudian
ketahuilah wahai teman, lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah
yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan
hujjah atas mereka, baik bid’ah I’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah
amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan
bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170) Kita tidak boleh
sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah.
Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah
tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….”
“…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah :
- Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
- Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang
yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah
dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan
bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai
mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak
bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang
menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan buku Lerai
Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil Muhsin
hafizhahullah)
Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : Siapakah yang dimaksud
dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai
Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar
berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di
atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik
dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum.
Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena
mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda
cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih
dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu
sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan
yang mereka ciptakan” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu : Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah
(Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak
kelompok dalam tubuh umat Islam yang mendaku sebagai Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan
ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka
bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu
Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal.
6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, hal. 7-14) Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih
dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka
kami sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At
Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, semoga Allah
memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca
yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun Najiyah
adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka
silakan baca buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal.
77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka
dalam barisan dakwah Salafiyyah dalam membumihanguskan gerombolan dakwah
Ahlul bid’ah, …Amiiin!
Demikian-lah
penjelasan tentang makna dan pengertian salafy dan ahlus sunnah wal
jama’ah. Semoga hal ini menjadikan ilmu buat kalian kemudian menjadikan
kalian bernaung di bawah-nya. “Ya Allah, jadikanlah saudara – saudaraku
ini seorang yang berpegang teguh di jalan salaf dan jadikan mereka
istiqamah di akhir hayatnya…sumberinfo