Semasa hidupnya, aktivis Hak Asasi Manusia Munir Said Thalib penyuka binatang. Salah satu hewan kesayangannya adalah ikan arwana. Pria kelahiran 8 Desember 1965 ini memelihara ikan itu di akuarium di ruang tamu mungil di rumahnya di Jatinegara.
"Sebulan setelah Munir meninggal, ikan itu mati menyusul majikannya," kata Suciwati kepada Tempo, saat dihubungi Minggu 9 September 2012.
Kata Suciwati, ia dan anak-anaknya sudah berupaya memelihara ikan itu dengan cara yang sama seperti Munir merawatnya. Tapi ikan kesayangan almarhum tetap mati. Padahal, ketika mendiang Munir bepergian ke luar kota, ia dan anak-anaknya juga yang memberi makan si ikan. Dan si ikan kala itu tetap hidup. Setelah Munir meninggal, mereka merawat dengan cara yang sama. Namun, si ikan tak bertahan dan menyusul majikannya. Setelah ikan itu meninggal, suciwati dan anak-anaknya tidak lagi memelihara ikan.
Selain ikan di akuarium rumahnya, Munir juga memelihara ikan di kantornya semasa ia menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Hingga kini, jika Anda berkunjung ke kantor Imparsial, ikan itu masih ada.
Ikan arwana seharga Rp 150 ribu itu dibeli Munir dari penjual ikan bernama Adek. Jenisnya arwana silver. "Saya pernah menawari Munir ikan arwana merah seharga Rp 1,5 juta, tapi Munir bilang uangnya dari mana. Mesti kumpulin uang dulu. Akhirnya dia beli ikan arwana silver," kata Adek seperti dikutip dari film dokumenter Munir berjudul Kiri Hijau Kanan Merah yang disutradarai Dandhy D. Laksono.
Semasa hidupnya, Munir kerap membela hak para buruh dan aktivis. Saat menjabat Dewan Kontras, namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi aktivis korban penculikan Kopassus. Setelah Presiden Soeharto jatuh, kasus penculikan itulah yang menyebabkan Prabowo Subianto dicopot dari jabatannya sebagai Danjen Kopassus.
Munir wafat di usia 38 tahun di atas pesawat Garuda Indonesia, dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004. Ketika terbang ke Amsterdam, ia menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial dan bermaksud melanjutkan studi di Belanda.
Pada 20 Desember 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa, sebelum pembunuhan, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior. Hukuman itu diperberat menjadi 20 tahun penjara oleh Mahkamah Agung pada 2008.
19 Juni 2008, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Muchdi Pr, orang dekat Prabowo Subianto dan politisi Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Namun, ia divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008.
Jenazah Munir bersemayam di Taman Pemakaman Umum Kota Batu. Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.sumberinfo